Kamis, 17 Februari 2011

PENDAPAT PARA IMAM MUHADITSIN TENTANG BID'AH

Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah

Dewasa ini muncul kembali golongan yang menganggap semua bid’ah itu sesat meskipun itu baik bagi kemaslahatan umat dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Tulisan-tulisan mereka banyak beredar di internet, stan-stan Islam Book Fair, bahkan di facebook pun mereka memiliki grup “SEMUA BID’AH SESAT”. Tapi kadang mereka kurang konsisten, disatu sisi mereka mengatakan semua bid’ah sesat tanpa kecuali, tapi disisi lain mereka membagi bid’ah menjadi dua, yaitu dalam urusan dunia dan agama. Mereka mungkin tidak pernah melihat sejarah, bahwa pada masa Rasulullah al-Qur’an belum dibukukan, baru disatukan dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar yang kemudian disempurnakan pada masa Utsman bin Affan yang dikenal dengan nama mushaf Utsmani. Ayat-ayat al-Qur’an pada masa Rasulullah dan masa Khulafaurrasyidin belum ada titik (nuqtah), syakal (harakat) seperti sekarang, akan tetapi setelah Islam menyebar ke berbagai bangsa barulah ayat-ayat al-Qur’an diberi titik, harakat supaya orang-orang Non-Arab atau orang Arab yang tidak pernah mendengar dari Rasulullah tidak salah dalam membacanya. Pemberian syakal, titik pada ayat-ayat al-Qur’an dilakukan pada masa khalifah Bani Umaiyah yang bernama Abdul Malik bin Marwan (70 H). Apakah semua itu dikatakan bid’ah sesat karena Rasulullah tidak pernah melakukannya????

Berikut ini adalah pendapat para imam dan muhadditsin tentang bid’ah:
1. Al-Hafidh Al-Muhaddits Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i rahimahullah(Imam Syafii). Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela. beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)

2. Al-Imam Al-Hafidh Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017).
Dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

3. Al-Muhaddits Al-Hafidh Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawiy rahimahullah (Imam Nawawi).
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela”. (Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)

Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yang wajib, Bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram.

Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid’ah yang Mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik-baik bid’ah”.
(Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

4. Al-Hafidh Al-Muhaddits Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthiy rahimahullah
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah Ku pastikan ketentuan-Ku untuk memenuhi jahannam dengan Jin dan manusia keseluruhannya”. (QS. As-Sajdah : 13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh As-Suyuthiy Juz 3 hal 189).

Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati-hati dari manakah ilmu mereka???, berdasarkan apa pemahaman mereka???, atau seorang yang disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits???, atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil-menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa-fatwa para Imam???


Walillahittaufiq

HUKUM QUNUT DALAM SHALAT SHUBUH

Qunut shalat Shubuh.

Ada sebagian kalangan yang beranggapan bahwa qunut shubuh adalah tidak sunnah. Bahkan dalam sebuah tulisan di akun facebook saudari kita orang wahabi-salafi yang berinisial PB disitu disebutkan bahwa qunut shubuh haram hukumnya dengan alasan Rasulullah SAW tidak melaksanakannya. Tulisan si PB itu sungguh ceroboh kalau tidak mau dibilang memecah belah umat karena hanya berdalil pada satu hadits dan terjemahnya tapi sudah merasa paling benar dan yang lainnya dianggap salah.
 
Bagaimana seh sebenarnya hukum membaca qunut dalam shalat shubuh???? Apakah benar Rasulullah SAW tidak pernah melaksanakannya????

Wahai saudaraku ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum membaca qunut pada shalat shubuh termasuk sunnah ab’adh. 
Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi (Imam Nawawi) dalam kitab al-Majmu’ mengatakan :
“Dalam madzhab kita (madzhab Syafi’i) disunnahkan membaca qunut dalam shalat shubuh. Baik ada bala’ (cobaan, bencana, adzab dll)maupun tidak, inilah pendapat kebanyakan ulama Salaf dan setelahnya. Di antaranya adalah Abu Bakar al-Shiddiq, ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Ibn ‘Abbas dan al-Barra’ bin ‘Azib RA.” (Al-Majmu’, Juz I, hal 504)

Dalil yang bisa dijadikan landasan adalah hadits Nabi SAW :
“Diriwayatkan dari Anas Ibn Malik RA,” Beliau berkata : “Rasulullah SAW senantiasa membaca qunut ketika shalat shubuh sehingga beliau wafat.” (Musnah Ahmad bin Hanbal no. 12196)

Mengomentari hadits ini, pakar hadits al-‘Allamah Muhammad bin ‘Allan al-Shiddiqi dalam kitabnya, al-Futuhat al-Rabbaniyyah berkata :
“Adapun qunut di waktu shalat shubuh, maka Nabi SAW tidak pernah meninggalkannya sehingga beliau meninggal dunia. Inilah yang benar, dan diriwayatkan serta di-shahihkan oleh segolongan pakar yang banyak hafal hadits.

Diantara orang yang menyatakan ke-shahih-an Hadits ini adalah al-Hafizh Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Ali al-Balkhi, al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, dan dibeberapa tempat dari kitab yang ditulis oleh al-Baihaqi. Al-Daraquthni juga meriwayatkannya dari beberapa jalur dengan sanad yang shahih.” (Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyah, Juz II, hal 268).

Syaikh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq salah seorang syaikh al-Azhar mengatakan :
Barang siapa yang melaksanakan qunut pada shalat shubuh, maka ia telah melaksanakan sunnah Nabi Muhammad SAW yang telah diikuti oleh sahabat Nabi SAW serta diamalkan para ulama mujtahid, fuqaha dan para ahli hadits. (al-Qunut bayn al-Syir’ah wa al-bid’ah, 46)

Memang ada hadits yang menyatakan bahwa Nabi SAW tidak melakukan qunut, namun hadits itu tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mensunnahkan, apalagi sampai melarang dan mengharamkan qunut. Itu sesuai dengan Kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi :
“Dalil yang menjelaskan adanya (terjadinya) suatu perkara, didahulukan dari dalil yang menyatakan bahwa perkara tersebut tidak ada. Sebab adanya penjelasan pada suatu dalil, menunjukan adanya pengetahuan (ilmu) yang lebih pada dalil tersebut.” (Syarh al-Kawkab al-Sathi’ fi Nadzm Jam’ al-Jawami’, Juz II, ha 475)

Dengan demikian membaca qunut shubuh dalam segala keadaan itu hukumnya sunnah, karena Nabi Muhammad SAW selalu melakukannya hingga beliau wafat.

Bagi saudara-saudariku yang tidak suka qunut ya tinggal tidak usah pakai saja, jangan menyalahkan orang lain yang berbeda. apa susahnya sih untuk menghormati pendapat orang lain. Contohlah akhlak Rasulullah SAW dan para salafus shalih, mereka berbeda pendapat tapi tidak saling menjelekan satu sama lainnya. Wallahu a‘lam..

Catatan : Sunnah ab’adh adalah suatu pekerjaan yang apabila ditinggalkan maka disunnahkan melakukan sujud sahwi. Kebalikannya adalah sunnah hai’at, yaitu sunnah yang apabila ditinggalkan tidak sunnah untuk mengerjakan sujud sahwi.

Untuk lebih jelasnya mengenai qunut shubuh silahkan merujuk pada :
- Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jilid I, Jakarta : Puataka Tarbiyah Baru, 2008.
- Muhyiddin Abdusshomad, FIQIH Tradisionalis ; Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari, Malang : Pustaka Bayan bekerjasama dengan PP. Nurul Islam, 2004.