Selasa, 19 Oktober 2010

TRIK-TRIK BANGUN MALAM

Bebarapa hal yang dapat memudahkan penunaian shalat tahajjud.

Diantara beberapa hal yang dapat memudahkan orang mengamalkan shalat tahajjud adalah :
 
1. mengisi antara waktu shalat Maghrib dan shalat ‘Isya dengan shalat-shalat sunnah (nafilah), atau dengan membaca al-Qur’an, atau dengan berdzikir.

2. usai shalat ‘Isya tidak berbicara mengenai soal-soal keduniaan kecuali jika ada kepentingan mendesak seperti menyambut kedatangan tamu, atau berbicara dengan istri tetapi tidak berlebih-lebihan. Cepat tidur setelah itu (pada awal malam) lebih baik, agar di waktu sahar tidak ketiduran, dan shalat tahajudnya tidak ketinggalan.

3. yang paling banyak membantu dalam hal itu ialah mengurangi (meringankan) makan malam, minum-minuman yang tidak kental (ma’-i’at) dan makan-makanan yang lunak (ruthubat). Jika makan banyak hingga memberatkan lambung (ma’idah) hendaklah jangan segera tidur, karena hal itu akan dapat mengurangi kemantapan hati dan melunturkan niat hendak shalat tahajud (membuat orang menjadi malas). Oleh sebab itu, sebaiknya segera berdzikir, membaca al-Qur’an atau shalat sunnah, beberapa saat sesudah makan malam.

4. satu hal lainnya yang tidak kalah penting adalah, tidak berbicara mengenai soal-soal yang tak ada manfaatnya. Lebih-lebih lagi kalau sampai berbicara mengenai soal-soal yang batil. Semua itu dapat membuat hati menjadi keras (qaswah) dan jauh dari Allah SWT.

5. tidak memaksa diri melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat di siang hari, atau yang dapat membuat badan menjadi sangat letih.

6. sebaiknya tidur sesaat setelah matahari terbit (tidur qailulah). Jangan sekali-kali tidur usia shalat Subuh sebelum matahari terbit. Sebab hal itu akan menghambat kedatangan rizki. Demikian juga tidur sore hari usia shalat Ashar, itu dapat mengakibatkan penyakit merana (gila).

7. satu hal lainnya yang sangat membantu kemudahan shalat Tahajud ialah : kebulatan tekad dalam hati untuk menunaikannya. Sebab dengan kemantapan hati dan kebulatan tekad, orang akan berusaha keras untuk mencapai sesuatu yang dikehendakinya. 

Hendaklah diperhatikan baik-baik semua petunjuk tersebut diatas dan diamalkan. Jangan lupa menyampaikannya pada keluarga, anak-anak yang sudah dewasa, juga kepada sahabat dan handai tolan. Sebab, barangsiapa menunjukan jalan kebaikan ia beroleh pahala sama dengan yang diperoleh pelakunya. Demikian menurut sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.

DUA PERINTAH NABI AGAR BERGAUL DENGAN ULAM

Dua perintah nabi agar bergaul dengan ulama.

Nabi saw bersabda :
“Hendaknya kalian duduk bersama ulama dan mendengarkan perkataan hukama’ (orang bijak), karena sesungguhnya Allah ta’ala menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaiman menghidupkan bumi yang mati dengan air hujan.”

Dalam riwayat Thabarani dari Abu Hanifah disebutkan :
“Duduklah bersama kubara’ (ulama besar) dan bertanyalah kepada para ulama serta bergaullah dengan para hukama’ (orang bijak).”

Dalam riwayat lain dikatakan :
“Duduklah bersama ulama dan bergaullah dengan para hukama’ serta akrabilah para kubara’.”

Pada dasarnya ulama itu terbagi menjadi tiga kelompok :
1. Ulama yang sangat menguasai dan memahami hukum-hukum Allah. Ulama seperti ini disebut dengan ash-habul fatwa, yaitu ulama yang banyak mengeluarkan fatwa.

2. Ulama yang sangat dalam kemampuannya tentang ma’rifat kepada dzat Allah. Ulama seperti itu disebut hukama’. Golongan ulama ini senantiasa menitikberatkan pada upaya memperbaiki tingkah laku dan akhlak. Baik untuk diri sendiri maupun umatnya. Demikian itu karena hati mereka selalu tersinari dengan ma’rifatullah dan jiwa mereka selalu tersinari dengan cahaya keagungan Allah.

3. Ulama-ulama besar yang disebut dengan al-kubara’. Ulama seperti ini senantiasa melakukan hal-hal terpuji untuk kepentingan mahluk Allah, terutama ahli ibadah. Lirikannya lebih memberi manfaat daripada ucapannya. Barangsiapa yang lirikannya memberi manfaat kepada Anda, maka tentu bermanfaatlah ucapannya. 
Begitu juga sebaliknya, barangsiapa yang lirikannya tidak memberi manfaat kepada Anda, maka ucapannya pun tidak akan memberi manfaat.

Disebutkan dalam sebuah kisah bahwa Imam Suhrawardi pernah mengelilingi sebagian masjid Khaif di daerah Mina. Ia memandangi wajah para hadirin yang ada satu persatu. Ketika ditanya tentang sikapnya itu ia menjawab : “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat orang-orang tertentu yang jika seseorang memandang mereka, mereka dapat memberikan kebahagiaan kepadanya, dan aku sekarang sedang mencarinya”.
 
Rasulullah saw bersabda :
“Akan datang suatu masa kepada umatku di mana mereka lari dari para ulama dan fuqaha’, maka Allah akan menurunkan tiga macam musibah kepada mereka, yaitu :
1. Allah menghilangkan berkah dari rizki mereka;
2. Allah menjadikan penguasa yang zhalim untuk mereka; dan
3. Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman.”

ANJURAN MEMBACA SHOLAWAT PADA HARI DAN MALAM JUM'AT

Anjuran membaca sholawat pada hari dan malam Jum’at.

Diriwayatkan dari Mahkul dari Abu Umamah ra berkata, Rasulullah saw bersabda : “Perbanyaklak membacakan sholawat untukku pada hari Jum’at, karena sholawat dari umatku itu akan dipersembahkan kepadaku pada setiap hari Jum’at. Barangsiapa yang paling banyak persembahan sholawatnya, maka ia adalah orang yang lebih dekat kedudukannya di sisiku.”

Rasulullah saw bersabda :
“Perbanyaklah membacakan sholawat untukku pada hari dan malam Jum’at. Barangsiapa melaksanakannya, maka aku akan menjadi saksi dan penolong (syafi’) nya pada hari kiamat.”

Rasulullah saw bersabda :
“Perbanyaklah membacakan sholawat untuk nabimu semua pada malam yang penuh pesona dan hari yang berbunga-bunga (hari dan malam Jum’at).”

Rasulullah saw bersabda :
“Barangsiapa membacakan sholawat untukku seratus kali pada hari Jum’at, maka kesalahan-kesalahannya selama delapan puluh tahun akan diampuni.”

Rasulullah saw bersabda :
“Barangsiapa membacakan sholawat untukku seribu kali pada hari Jum’at, maka ia tidak akan mati sebelum melihat surga, tempat tinggalnya.”
Rasulullah saw bersabda :

“Barangsiapa membacakan sholawat untukku pada hari Jum’at, maka sholawat itu akan menjadi syafa’at baginya besok di hari kiamat.”

Diriwayatkan dari Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas bin Malik ra berkata : ketika saya berdiri di hadapan Rasulullah saw, baliau bersabda :
“Barangsiapa membacakan sholawat untukku delapan puluh kali pada hari Jum’at, maka dosa-dosanya selama delapan puluh tahun akan diampuni.” Rasulullah saw kemudian ditanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana caranya membaca sholawat untukmu?” Jawab Rasulullah : “Bacalah : “Allaahumma shalli ‘alaa Muhammadin ‘abdika wa nabiyyika wa rasulika an-nabiyyil ummiyyi.” Artinya : “Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada Muhammad seorang hamba, nabi dan utusan-Mu yang ummi.”
 
Rasulullah saw bersabda :
“Barangsiapa bershalat ‘Ashar pada hari Jum’at kemudian sebelum berdiri meninggalkan shalatnya membaca : “Allaahumma shalli ‘alaa Muhammadin-nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallim tasliimaan katsiira.” Artinya : Ya Allah limpahkanlah rahmat kepada Muhammad seorang nabi yang ummi dan untuk keluarga serta para sahabatnya, dan damaikanlah dengan kedamaian yang sesungguhnya,” delapan puluh kali, maka dosa-dosanya selama delapan puluh tahun akan diampuni dan dituliskan pahala ibadah selama delapan puluh tahun untuknya.”

Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya di sisi Allah SWT ada malaikat-malaikat yang diciptakan dari cahaya. Mereka tidak akan turun kecuali hanya pada malam dan hari Jum’at. Tangan-tangan mereka memegang pena yang terbuat dari emas dan lembaran-lembaran kertas yang terbuat dari cahaya. Mereka tidak menulis kecuali shalawat untuk Nabi saw.”

Al-Hafidz as-Sakhawi berkata, Imam asy-Syafi’I ra berkata : “Saya suka memperbanyak bacaan shalawat untuk Nabi saw, terutama pada malam dan hari Jum’at.”

Ibnu Hajar dalam kitabnya, ad-Durr al-Mandhud mengutip perkataan salah seorang ulama, bahwa menyibukan diri dengan membaca shalawat untuk Nabi saw pada hari dan malam Jum’at lebih besar pahalanya daripada menyibukan diri dengan membaca al-Qur’an kecuali surat al-Kahfi, karena adanya nash hadis yang menganjurkan untuk membacanya pada hari dan malam Jum’at.

Dalam kitab al-Mawahib al-Ladunniyyah, al-‘Allamah al-Qishthilani menyatakan : “Jika anda bertanya, apakah hikmah di balik pengistimewaan memperbanyak bacaan shalawat untuk Nabi saw pada hari dan malam Jum’at, maka Ibn al-Qayyim memberikan jawaban : Karena Nabi saw adalah tuan (sayyid) bagi sekalian manusia dan hari Jum’at adalah tuan (sayyid) bagi hari-hari yang lain.
 
Shalawat memiliki beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh amal yang lain. Hal ini karena setiap kebaikan yang diperoleh umatnya di dunia dan akhirat hanya akan dicapai melalui nama beliau saw, maka Allah SWT menyatukan kebaikan dunia dan akhirat bagi umatnya, sementara kemuliaan (karomah) yang teragung dianugerahkan mereka pada hari Jum’at, karena pada hari itulah Allah SWT memasukan mereka pada tempat-tempat tinggal dan istana-istana mereka di surga.
 
Marilah kita semua menjadikan shalawat sebagai wirid disamping membaca al-Qur’an yang harus kita baca setiap hari. Semoga manfaat, Aamiin….

Dikutip dari
Afdhal as-Shalawat ‘ala Sayyid as-Sadat. Karya Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani.
Yang dalam edisi Indonesia berjudul :
Yusuf bin Ismail an-Nabhani, Bershalawat untuk Mendapat Keberkahan Hidup. Terj. Muzammal Noer, ( Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2003) hlm, 32-35.

KENAPA HARUS EMPAT MAZHAB

Kenapa Harus Empat Mazhab.

Di antara mazhab bidang fiqh yang paling berpengaruh yang pernah ada sebanyak empat. Mereka menjadi panutan warga Nahdliyin, masing-masing adalah:

Pertama: 
Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Biasa disebut Imam Hanafi. Lahir tahun 80 H, dan wafat tahun 150 H, di Bagdad. Abu Hanifah berdarah Persia, digelari Al-Imam al-A’zham ( Imam Agung ), menjadi tokoh panutan di Iraq, penganut aliran ahlu ra’yi dan menjadi tokoh sentralnya. Di antara manhaj istimbathnya yang terkenal adalah Al-Ihtihsan. Fiqh Abu Hanifah yang menjadi rujukan utama mazhab Hanafi ditulis oleh dua orang murid utamanya: Imam Abu Yusuf Ibrahim dan Imam Muhammad bin Hasan As-Syaibani.

Kedua: 
Imam Malik bin Anas. Biasa disebut Imam Malik. Lahir tahun 93 H, dan wafat tahun 179 H di Madinah. Imam Malik, dikenal sebagai “Imam Dar al-Hijrah”, Imam Malik adalah seorang ahli hadits yang sangat terkenal sehingga kitab monumentalnya yang berjudul “Al-Muwatha” dinilai sebagai kitab hadits hokum yang paling shahih sebelum adanya Shahih Bukhari dan Shahih Muslim ( dua kumpulan hadits shahih yang menjadi rujukan ulama ahlussunnah ). Imam Malik juga mempunyai konsep manhaj istinbath yang berpengaruh sampai sekarang. Kitabnya berjudul al-Maslahah al-Mursalah dan al-Ahl al-Madinah.

Ketiga: 
Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i. biasa disebut Imam Syafi’i. Lahir tahun 150 H, di Ghaza, dan wafat pada tahun 204 H di Mesir. Imam Syafi’i mempunyai latar belakang keilmuan yang memadukan antara Ahl al-Hadits dan Ahl al-Ra’yi, karena cukup lama menjadi murid Imam Malik di Madinah dan cukup waktu belajar kepada Imam Muhammad bin Hasan, di Bagdad. Dia adalah murid senior Imam Abu Hanifah. Metode istinbath Imam Syafi’i ditulis menjdi buku pertama dalam ushul fiqh berjudul al-Risalah. Pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa fiqh Imam Syafi’i ada dua macam. Yang disampaikan selama di Bagdad disebut “al-Qaul al-Qadim (pendapat lama)”, dan yang disampaikan di Mesir disebut “al-Qaul al-Jadid (pendapat baru)”. Tentang ini semua telah dihimpun Imam Syafi’i dalam kitab “Al-Um”.

Keempat: 
Imam Ahmad bin Hambal, biasa disebut Imam Hambali. Lahir tahun 164 H, di Bagdad. Imam Ahmad bin Hambal terkenal sebagai tokoh Ahl al-Hadits. Imam Ahmad bin Hambal adalah salah seorang murid Imam Syafi’I selama di Bagdad, dan sangat menghormati Imam Syafi’i. Sampai Imam Syafi’I wafat masih selalu mendoakannya. Imam Ahmad bin Hambal mewariskan sebuah kitab hadits yang terkait dengan hokum Islam berjudul “Musnad Ahmad”.

Alasan memilih Kenapa Empat Mazhab:

Pertama: kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur. Jika disebut nama mereka hampir dapat dipastikan mayoritas umat Islam di dunia mengenal dan tidak perlu lagi menjelaskan secara mendetail.

Kedua: keempat Imam Mazhab tersebut merupakan Imam Mujtahid Mustaqil, yaitu Imam Mujtahid yang mampu secara mandiri menciptakan Manhaj al-Fikr, pola metode, proses dan prosedur istinbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan. Imam Ghazali belum mencapai derajat seperti empat Imam Mazhab itu. Beliau masih mengikuti mazhab Imam Syafi’i.

Ketiga: Para Imam Mazhab itu mempunyai murid yang secara konsisten mengajar dan mengembangkan mazhabnya yang didukung oleh buku induk yang masih terjamin keasliannya hingga saat ini.

Keempat: Ternyata para Imam Mazhab itu mempunyai mata rantai dan jaringan intelektual di antara mereka.
Imam Abu Hanifah pada waktu menunaikan ibadah haji sempat bertemu dengan Imam Malik di Madinah. Hal itu merupakan dua tokoh besar dari dua aliran yang berbeda. Imam Abu Hanifah sebagai tokoh aliran ahlu al-Ra’yi, sedangkan Imam Malik merupakan tokoh aliran ahlu al-Hadits. Kedua tokoh ini sempat melakukan dialog ilmiah interaktif di Madinah, yang berakhir dengan sikap saling memuji dan mengakui kepakaran masing-masing di hadapan pengikutnya.
Peristiwa itu kemudian mendorong salah seorang murid senior Imam Abu Hanifah, yakni Imam Muhammad bin Hasan, belajar kepada Imam Malik di Madinah selama dua tahun.
Imam Syafi’i yang cukup lama menjadi murid Imam Malik dan selama sembilan tahun mengikuti mazhab Maliki, tertarik mempelajari mazhab Hanafi. Ia berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan, yang waktu itu menggantikan Abu Hanifah yang sudah wafat.
Ternyata Imam Muhammad bin Hasan ini sudah pernah bertemu akrab dengan Imam Syafi’I sewaktu sama-sama belajar kepada Imam Malik di Madinah. Di antara keduanya saling tertarik dan mengagumi. Itu terbukti, waktu Imam Syafi’i ditangkap oleh pemerintah Abbasiyah karena difitnah terlibat gerakan ‘Alawiyah di Yaman, yang membela dan memberikan jaminan adalah Imam Muhammad bin Hasan.

Dan yang terakhir: Selama Imam Syafi’i berada di Bagdad yang kedua, Imam Ahmad bin Hambal cukup lama belajar kepada Imam Syafi’i. kalau diperhatikan, ternyata keempat imam mazhab tersebut mempunyai sikap tawadhu’ dan saling menghormati. Kebesaran dan popularitas masing-masing tidak mempengaruhi sikap dan perilaku akhlaqul karimahnya. Itu merupakan citra terpuji dari para pemegang amanah keilmuan yang luar biasa. Hal demikian patut diteladani oleh para pengikt mazhab selanjutnya.

( Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah: Ajaran Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama, Surabaya: Khalista dan Lajnah Ta’lif wa Nasyr (LTN) NU Jawa Timur, 2007, hal, 22 )

SYARI'AH ASWAJA AN-NAHDLIYAH

Syari’ah Aswaja An-Nahdliyah
Al-Qur’an dan al-Hadits diturunkan secara berangsur-angsur. Tidak sekaligus. Disampaikan kepada manusia menurut kebutuhan, kepentingan dan situasi serta kondisi yang berbeda-beda. Ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits disampaikan di Makkah, Madinah dan sekitarnya lebih lima belas abad lalu dengan cara disebarluaskan dan diwariskan kepada umat manusia dengan segala persamaan dan perbedaannya untuk sepanjang zaman dengan berbagai perubahan dan perkembangannya.
Ketika Rasulullah masih hidup, umat manusia menerima ajaran langsung dari beliau atau dari sahabat yang hadir ketika beliau menyampaikan. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat –termasuk empat Khulafaaurasyidin: Abu Bakar, Umar, ‘Utsman dan Ali- menyebarkan ajaran Islam kepada generasi berikutnya. Dengan perkembangan zaman, dengan kondisi masyarakat yang kian dinamis, banyak persoalan baru yang dihadapi umat. Seringkali hal yang muncul itu tidak terdapat jawabannya secara tegas dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Maka untuk mengetahui hokum atau ketentuan persoalan baru itu, maka upaya Ijtihad harus dilakukan.
Sesungguhnya ijtihad juga sudah dilakukan sahabat ketika Kanjeng Nabi Muhammad masih hidup. Yakni ketika sahabat menghadapi persoalan baru tapi tidak mungkin ditanyakan langsung kepada Rasulullah. Seperti pernah dilakukan oleh sahabat Muadz bin Jabal saat ditugasi mengajarkan Islam ke Yaman. Dan pada masa-masa sesudah kurun Sahabat, kegiatan ijtihad makin banyak dilakukan oleh para Ulama ahli Ijtihad ( Mujtahid ).
Di antara tokoh yang mampu berijtihad sejak generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, terdapat banyak tokoh yang ijtihadnya kuat ( disebut mujtahid mustaqil ). Bukan hanya mampu berijtihad sendiri tetapi juga menciptakan “pola pemahaman ( manhaj )” tersendiri terhadap sumber pokok hokum Islam, al-Qur’an dan al-Hadits. Ini dicerminkan dengan metode ijtihad yang dirumuskan sendiri, menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh, qawa’idul ahkam, qawa’idul fiqhiyyah dan sebagainya. Proses dan prosedur ijtihad yang mereka hasilkan dilakukan sendiri itu menandakan bahwa secara keilmuan dan pemahaman keagamaan serta ilmu-ilmu penunjang lainnya telah mereka miliki dan kuasai.
Pola pemahaman ajaran Islam melalui ijtihad para mujtahid, lazim disebut madzhab. Penulisan Indonesia “mazhab”, berarti “jalan pikiran dan jalan pemahaman” atau “pola pemahaman”. Pola pemahamn dengan metode, prosedur, dan produk ijtihad itu juga diikuti oleh umat Islam yang tidak mampu ijtihad sendiri karena keterbatasan ilmu dan syarat-syarat yang dimilki. Mereka lazim disebut bermazhab atau menggunakan mazhab.
Dengan sistem bermazhab ini, ajaran Islam dapat terus dikembang, disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah kepada semua lapisan dan tingkatan umat Islam. Dari yang paling awam sampai paling alim sekalipun. Melalui sistem ini pula pewarisan dan pengamalan ajaran Islam terpelihara kelurusan dan terjamin kemurniannya. Itu karena ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits difahami, ditafsiri dan diamalkan dengan pola pemahaman dan metode ijtihad yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Walau begitu kualitas bermazhab yang sudah ada harus terus ditingkatkan, yaitu dengan peningkatan kemampuan dan penguasaan ilmu agama Islam dengan segala jenis dan cabang-cabangnya.
Ajakan kembali pada al-Qur’an dan al-Hadits tentu tidak boleh diartikan memahami kedua sumber hukum tersebut secara bebas ( liberal ), tanpa metode dan prosedur serta syarat-syarat yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

CATATAN:
*. Penolakan terhadap sistem bermadzhab berarti melepaskan diri sama sekali dari ajaran Agama sehingga pelakunya patut disebut “alladiniyah”. DR. M. Said al-Buthi dalam kitabnya “Allamadzhabiyyah” menyatakan: “Manakala semua manusia tahu persis cara mengikuti Sunnah Nabi dan memahami secara benar maksud al-Qur’an, niscaya manusia tidak akan terbagi menjadi dua kelompok: Mujtahidin dan Muqalidin, dan niscaya Allah SWT tidak akan memerintahkan kelompok kedua untuk bertanya kepada kelompok pertama sebagaimana dalam firman-Nya: Q.S. An-Nahl: 43 “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. Dalam Ayat ini kelompok kedua diperintah bertanya kepada kelompok pertama sedangkan kelompok pertama tidak ma’sum ( terjaga dari kesalahan ) dan Allah SWT tidak memerintahkan langsung merujuk kembali kepada nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah yang keduanya telah terjaga. Begitu juga al-Syaikh Akbar KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya “Risalah Ahl as-Sunnah wa al Jama’ah” Hal: 16.

TIGA KESENANGAN RASULULLAH SAW

Tiga kesenangan Rasulullah saw.

Dalam kitab Nashoihul ‘Ibad di jelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
“Ada tiga hal yang sangat aku senangi di dunia ini, yaitu:
1. wangi-wangian;
2. istri shalihah;
3. ketenangan saat shalat.”

Ketika itu beliau sedang duduk dengan para sahabatnya. Tiba-tiba Abu Bakar Ash-Shiddiq ra berkata: “Benar engkau ya Rasulullah, aku pun menyukai tiga hal lainnya, yaitu: senang melihat wajah Rasulullah saw, menafkahkan hartaku menurut kemauan Rasulullah saw, dan aku senang putriku berada di bawah pemeliharaan Rasulullah.”

‘Umar bin Khatab ra lantas berkata: “Benar engkau, ya Abu Bakar, aku pun senang akan tiga hal lainnya, yaitu: mengajak pada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan berpakaian sederhana.”

‘Utsman bin ‘Affan ra pun menyahut: “Benar engkau, wahai ‘Umar, aku pun menyukai tiga hal lainnya, yaitu: mengenyangkan orang yang sedang lapar, memberi pakaian kepada orang yang tak memiliki busana, dan membaca Al-Qur’an.”

Selanjutnya, ‘Ali bin Abi Thalib ra juga berkata: “Benar engkau, wahai ‘Utsman, aku pun menyukai tiga hal lainnya, yaitu: melayani tamu, puasa pada musim panas, dan memukul musuh dengan pedang.”

Ketika mereka sedang berbincang-bincang, lalu Jibril datang dan berkata (kepada Nabi saw): “Allah telah mengutus aku ketika mendengar pembicaraan kalian. Allah memerintahkan kepadamu, wahai Rasulullah, supaya engkau bertanya kepadaku tentang sesuatu yang aku cintai apabila aku menjadi penghuni dunia.”

Rasulullah saw pun bertanya: “Wahai Jibril, apa yang engkau cintai jika engkau menjadi penghuni dunia?? ‘Jibril menjawab: “Memberi petunjuk kepada orang yang sesat, menemani orang yang taat kepada Allah, dan menolong keluarga yang fakir.”

Selanjutnya Jibril berkata: “Allah, Tuhan Yang Mahamulia dan Mahaagung mencintai tiga hal yang ada pada diri hamba-Nya, yaitu: mencurahkan segala kemampuan dalam berbakti kepada Allah, menangis karena menyesal telah berbuat maksiat, dan sabar ketika mengalami kefakiran.”

TIGA HAL YANG PALING BAIK

TIGA HAL YANG PALING BAIK.
Dalam kitab Nashoihul ‘Ibad karya Syaikh Nawawi al-Bantani di ceritakan bahwaIbnu ‘Abbas ra ketika ditanya mengenai hari, bulan, dan amalan yang paling baik, ia menjawab:
1. “Hari yang paling baik adalah hari Jum’at.
2. Bulan yang paling baik adalah bulan Ramadhan.
3. Amalan yang paling baik adalah menjalankan shalat fardhu tepat pada waktu utamanya.”
Selanjutnya, Ibnu ‘Abbas meninggal dunia pada hari Jum’at. Tiga hari sesudah kematiannya, sampailah berita kepada Ali bin Abi Thalib ra tentang jawaban Ibnu ‘Abbas ra ketika ditanya tentang tiga hal tersebut diatas.
‘Ali ra lantas berkata: “Apabila para ulama, hukama’, dan fuqaha’ mulai dari timur sampai barat ditanya tentang hal itu, pasti mereka akan menjawab seperti jawaban ‘Ibnu ‘Abbas, kecuali aku. Jika aku ditanya hal tersebut, pasti aku akan menjawab sebagai berikut:
1. Amal yang paling baik adalah amal yang diterima oleh Allah;
2. Bulan yang paling baik adalah bulan yang di dalamnya engkau bertaubat kepada Allah dengan tobat nasuha; dan
3. Sebaik-baik hari adalah hari saat engkau pergi meninggalkan dunia dan kembali kepada Allah dalam keadaan beriman kepada-Nya.”
Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang disebut dengan tobat nasuha adalah hatinya menyesali dosa yang pernah dikerjakan; lisannya memohon ampun kepada Allah; raganya berhenti dari segala macam perbuatan dosa; dan berjanji tidak akan melakukan lagi kemaksiatan yang dilarang oleh Allah.
Ada lagi yang mengatakan bahwa tobat nasuha adalah tobat yang sesudah tobatnya itu tidak mengulangi berbuat maksiat, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Ada lagi yang mengatakan bahwa tobat nasuha adalah tobat yang mewariskan kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi pelakunya. Hal senada diungkapkan oleh seorang ahli hikmah dalam bait-bait syair gubahannya:
“Tidakkah kau lihat bencana yang ditimpakan oleh masa kepada kita,
menghanyutkan kita dalam permainannya
baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Jangan sekali-kali kau tergiur oleh duniawi dan perhiasannya,
karena dunia bukan tempat kita yang sebenarnya.
Banyak beramallah demi kemaslahatan dirimu
sebelum kematian datang menjemput.
Jangan terpedaya dengan teman dan saudara yang banyak kau miliki.

Imam Al-Ghazali rha, menurut suatu pendapat, telah mengatakan dalam pesan-pesannyamelalui bait-bait syair berikut:
Jika kau ingin berharta banyak, ucapanmu didengar oleh orang,
dicintai oleh semua wanita dan disenangi oleh semua laki-laki.
Kekayaan datang kepadamu
membuat kamu bahagia, disegani, dihormati, lagi berharta banyak.
Terhindar dari bencana dan rencana jahat, baik dari musuh
maupun teman yang berpura-pura memihakmu.
Bacalah ‘Ya Hayyu Ya Qayyumu’ sebanyak seribu kali sepanjang malam
atau siang dan malam hari.
Sesungguhnya nasehatku ini jauh lebih berharga
daripada apapun yang berharga.
Amalkanlah dengan tetap, jangan kau tinggalkan
niscaya kau akan meraih kedudukan yang tertinggi.
Wallaahu a‘lam.

TIGA HAL PENYELAMAT, PERUSAK, PENINGGI DERAJAT DAN PENGHAPUS DOSA

Tiga Penyelamat, Perusak, Peninggi Derajat, dan Penghapus Dosa.

Setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti menginginkan hidup bahagia dan sejahtera. Akan tetapi kadang dalam usaha meraihnya manusia menghalalkan segala cara dengan melanggar perintah Tuhannya. Pangkat atau kedudukan di dunia ini adalah hanyalah sementara tidak ada yang abadi, jadi kenapa kadang kita sampai melanggar perintah Tuhan hanya untuk mengejar yang fana??? Rasulullah saw memberikan resep bagaimana agar kita agar kita bisa mencapai kebahagiaan abadi di sisi Allah swt, dan terhindar dari kebinasaan. Dalam sebuah hadits yang terdapat dalam kitab Nashoihul ‘Ibad karya Syaikh Nawawi al-Bantani, Rasulullah saw memberikan nasehat tentang 3 hal, yaitu:
“Dari Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: ‘Ada tiga perkara yang dapat menyelamatkan manusia (dari siksa Allah); ada tiga perkara yang dapat membinasakan manusia; ada tiga perkara yang dapat meninggikan derajat manusia; dan ada tiga perkara yang dapat menghapus dosa.”
Tiga hal yang dapat menyelamatkan manusia (dari siksa Allah) adalah:
1. takut kepada Allah ta’ala, baik ketika berada di tempat sepi maupun ketika berada di tempat yang ramai;
2. berpola hidup hemat dan sederhana, baik saat tidak punya maupun saat berkecukupan;
3. selalu berlaku adil, baik saat senang maupun marah.
Tiga hal yang dapat membinasakan manusia adalah:
1. sangat bakhil;
2. senantiasa memperturutkan hawa nafsunya; dan
3. membanggakan diri sendiri.
Kriteria sangat bakhil atau kikir ialah tidak mau menunaikan hak Allah atau hak orang lain. Dalam riwayat lain disebutkan: “kikir yang ditaati”. Meskipun pada wataknya manusia itu kikir, tetapi jika tidak ditaati tidak akan membinasakan pelakunya.
Tiga hal yang dapat meninggikan derajat manusia ialah:
1. membudayakan ucapan salam (di kalangan kaum muslim);
2. suka memberi makan pada tamu dan orang yang lapar; dan
3. shalat Tahajjud pada tengah malam saat orang-orang sedang tidur nyenyak.
Adapun tiga hal yang dapat menghapuskan dosa adalah:
1. menyempurnakan wudhu’ meskipun cuaca sangat dingin;
2. melangkahkan kaki untuk melakukan shalat berjama’ah; dan
3. menunggu tibanya waktu shalat yang kedua usai mengerjakan shalat yang pertam.
Yang dimaksud dengan adil, baik saat senang maupun saat marah, adalah orang yang bersangkutan tetap berpegang teguh pada prinsip keadilan dan tidak mudah terpengaruh oleh emosinya, yang semuanya itu dilakukannya demi mangharap ridho Allah semata.

Kalau kita ingin selamat dunia akhirat, mari kita mencoba sedikit demi sedikit untuk mengamalkan isi yang ada pada hadits Nabi saw diatas. Semoga kita semua diberi kekuatan oleh Allah swt untuk mengamalkannya, serta selalu diberi hidayah, taufiq dan Kasih-Sayang-Nya. Ya muqolibul qulub tsabit qalbi ‘ala dinik, Amiiin.
Wallaahu a‘lam.