Selasa, 19 Oktober 2010

SYARI'AH ASWAJA AN-NAHDLIYAH

Syari’ah Aswaja An-Nahdliyah
Al-Qur’an dan al-Hadits diturunkan secara berangsur-angsur. Tidak sekaligus. Disampaikan kepada manusia menurut kebutuhan, kepentingan dan situasi serta kondisi yang berbeda-beda. Ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits disampaikan di Makkah, Madinah dan sekitarnya lebih lima belas abad lalu dengan cara disebarluaskan dan diwariskan kepada umat manusia dengan segala persamaan dan perbedaannya untuk sepanjang zaman dengan berbagai perubahan dan perkembangannya.
Ketika Rasulullah masih hidup, umat manusia menerima ajaran langsung dari beliau atau dari sahabat yang hadir ketika beliau menyampaikan. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat –termasuk empat Khulafaaurasyidin: Abu Bakar, Umar, ‘Utsman dan Ali- menyebarkan ajaran Islam kepada generasi berikutnya. Dengan perkembangan zaman, dengan kondisi masyarakat yang kian dinamis, banyak persoalan baru yang dihadapi umat. Seringkali hal yang muncul itu tidak terdapat jawabannya secara tegas dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Maka untuk mengetahui hokum atau ketentuan persoalan baru itu, maka upaya Ijtihad harus dilakukan.
Sesungguhnya ijtihad juga sudah dilakukan sahabat ketika Kanjeng Nabi Muhammad masih hidup. Yakni ketika sahabat menghadapi persoalan baru tapi tidak mungkin ditanyakan langsung kepada Rasulullah. Seperti pernah dilakukan oleh sahabat Muadz bin Jabal saat ditugasi mengajarkan Islam ke Yaman. Dan pada masa-masa sesudah kurun Sahabat, kegiatan ijtihad makin banyak dilakukan oleh para Ulama ahli Ijtihad ( Mujtahid ).
Di antara tokoh yang mampu berijtihad sejak generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, terdapat banyak tokoh yang ijtihadnya kuat ( disebut mujtahid mustaqil ). Bukan hanya mampu berijtihad sendiri tetapi juga menciptakan “pola pemahaman ( manhaj )” tersendiri terhadap sumber pokok hokum Islam, al-Qur’an dan al-Hadits. Ini dicerminkan dengan metode ijtihad yang dirumuskan sendiri, menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh, qawa’idul ahkam, qawa’idul fiqhiyyah dan sebagainya. Proses dan prosedur ijtihad yang mereka hasilkan dilakukan sendiri itu menandakan bahwa secara keilmuan dan pemahaman keagamaan serta ilmu-ilmu penunjang lainnya telah mereka miliki dan kuasai.
Pola pemahaman ajaran Islam melalui ijtihad para mujtahid, lazim disebut madzhab. Penulisan Indonesia “mazhab”, berarti “jalan pikiran dan jalan pemahaman” atau “pola pemahaman”. Pola pemahamn dengan metode, prosedur, dan produk ijtihad itu juga diikuti oleh umat Islam yang tidak mampu ijtihad sendiri karena keterbatasan ilmu dan syarat-syarat yang dimilki. Mereka lazim disebut bermazhab atau menggunakan mazhab.
Dengan sistem bermazhab ini, ajaran Islam dapat terus dikembang, disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah kepada semua lapisan dan tingkatan umat Islam. Dari yang paling awam sampai paling alim sekalipun. Melalui sistem ini pula pewarisan dan pengamalan ajaran Islam terpelihara kelurusan dan terjamin kemurniannya. Itu karena ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits difahami, ditafsiri dan diamalkan dengan pola pemahaman dan metode ijtihad yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Walau begitu kualitas bermazhab yang sudah ada harus terus ditingkatkan, yaitu dengan peningkatan kemampuan dan penguasaan ilmu agama Islam dengan segala jenis dan cabang-cabangnya.
Ajakan kembali pada al-Qur’an dan al-Hadits tentu tidak boleh diartikan memahami kedua sumber hukum tersebut secara bebas ( liberal ), tanpa metode dan prosedur serta syarat-syarat yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

CATATAN:
*. Penolakan terhadap sistem bermadzhab berarti melepaskan diri sama sekali dari ajaran Agama sehingga pelakunya patut disebut “alladiniyah”. DR. M. Said al-Buthi dalam kitabnya “Allamadzhabiyyah” menyatakan: “Manakala semua manusia tahu persis cara mengikuti Sunnah Nabi dan memahami secara benar maksud al-Qur’an, niscaya manusia tidak akan terbagi menjadi dua kelompok: Mujtahidin dan Muqalidin, dan niscaya Allah SWT tidak akan memerintahkan kelompok kedua untuk bertanya kepada kelompok pertama sebagaimana dalam firman-Nya: Q.S. An-Nahl: 43 “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. Dalam Ayat ini kelompok kedua diperintah bertanya kepada kelompok pertama sedangkan kelompok pertama tidak ma’sum ( terjaga dari kesalahan ) dan Allah SWT tidak memerintahkan langsung merujuk kembali kepada nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah yang keduanya telah terjaga. Begitu juga al-Syaikh Akbar KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya “Risalah Ahl as-Sunnah wa al Jama’ah” Hal: 16.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar