Kamis, 01 Juli 2010

Islam dan panca sila

ISLAM, PANCASILA DAN NASIONALISME
(catatan tentang relasi Islam dan Panca Sila)
Oleh: Gugun el-Guyanie

Abad ke-20 dijalani oleh bangsa Indonesia dalam dua periodesasi yang kontras. Paruh pertama kira-kira 45 tahun sebagai bangsa terjajah. Sisanya, paruh kedua dilewati sebagai bangsa yang merdeka. Baik yang pertama maupun yang kedua, bahkan melampauinya, tidak bisa lepas dari tokoh-tokoh Islam, yang setiap tahun menjadi Man of The Year. Spirit para tokoh Islam itulah yang secara histories dapat kit abaca sebagai cermin spirit Islam dalam mendorong Indonesia merdeka.
Harun Nasution dalam tesisnya The Islamic State in Indonesia : The Rise of The Ideology, the Movement for ist Creation and the Theory of the Masyumi, menyatakan bahwa Islam merupakan tenaga pembangkit dan pengembang nasionalisme Indonesia. Anhar Gonggong, seorang sejarawan senada dengan Harun Nasution mengungkapkan bahwa Proklamasi Kemerdekaan sebagai buah dari strategi dan otak tokoh-tokoh perjuangan, yang dimotori oleh tokoh-tokoh Islam.
Setiap periode perjuangan, tokoh-tokoh Islam, kiai dan ulama tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya republic yang merdeka dari imperialisme dan kolonialisme. Sejak awal periode pergerakan nasional (1905-1945), yang ditandai dengan berdirinya Serikat Islam (SI), 16 oktober 1905. Di dalam BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai), yang dibentuk pemerintahan Jepang pada tanggal 1 maret 1945, terdapat tokoh-tokoh Islam yang sangat berpengaruh saat itu.
Keterlibatan para tokoh Islam dalam menyusun dasar konstitusi Negara, sebagai jembatan menuju Indonesia merdeka adalah bukti bahwa ajaran Islam yang menjadi pijakan umatnya memiliki spirit untuk keluar dari penindasan dan cengkraman penjajah asing. Took-tokoh tersebut diantaranya, Ki Bagoes Hadikoesoema (Tokoh Masyumi), H. Agus Salim (pendiri Partai Penyadar), Abikoesno Tjokrosoejoso (Tokoh Partai Syarikat Islam Indonesia), Abdul Kahar Muzakir (Pimpinan Muhammadiyah), KH. Abdul Wahid Hasyim (Tokoh Nahdlatul Ulama), KH. Mas Mansur (Tokoh Muhammadiyah), Haji Ahmad Sanusi, KH. Abdul Halim, KH. Masykur, dan KH. Abdul Fatah Hasan. Kesepuluh tokoh ini adalah anggota BPUPKI kecuali KH. Abdul Fatah Hasan sebagai anggota tambahan.
Pembicaraan mengenai lima asas dasar Pancasila yang merupakan produk Sidang pertama BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, mencapai puncaknaya ketika Soekarno dan Yamin menemukan dari mana prinsip ketuhanan. H. Endang Syaifuddin Anshari dalam bukunya “Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara RI (1945-1949)” menerangkan, tidak ada perbedaan fundamental antara lima asas Yamin dan Soekarno. Anshari memastikan kedua tokoh sekuler ini menemukan prinsip ketuhanan dari alam pikiran, gagasan dan cita-cita yang diungkapkan tokoh-tokoh Islam, kiai dan ulama di dalam BPUPKI. Karena tokoh-tokoh umat yang jumlahnya sepuluh itu, dengan lantang menolak prinsip kebangsaan dan mengajukan Islam sebagai dasar Negara.
Lantas dari mana datangnya sebutan “ketuhanan YME”? Dari Nasrani, Nasionalis Sekuler, Hindu atau Timur Asing (seorang keturunan China) yang ikut musyawarah dalam panitia. Kata Prof. Hazairin dalam “Demokrasi Pancasila”, menyatakan bahwa istilah “ketuhanan YME” hanya sanggup diciptakan oleh otak, kebijaksanaan, dan iman orang Indonesia (Muslim). Yakni sebagai terjemahan dari pengertian yang terhimpun dalam ”Allahu al-Wahidu al-Ahad” yang disalurkan dari QS 2: 163 dan QS 112 dan didzikirkan dalam do’a Kanzul Arasy baris ke-17. Sampai pada lahirnya Piagam Jakarta yang menyertakan para tokoh Islam dari panitia sembilan, perdebatan mengenai asas Islam masih berlanjut.
Pidato Bung Karno dalam siding BPUPKI 1 Juni 1945 begitu berapi-api, dengan mengungkap berbagai ideology-ideologi Negara di dunia yang telah merdeka. “Tuan-tuan sekalian, Weltanschauung ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk me-realiteit-kan Weltanschauung mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali Negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan. Tidak !
Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed, “Sovyet –Rusia didirikan dalam 10 hari oleh Lenin cs.”- Reed didalam kitabnya “Ten days that shook the world”, sepluh hari yang menggoncangkan dunia… walaupun Lenin mendirikan Rusia dalam 10 hari, tetapi Weltanschauung-nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlabih dahulu telah tersedia Weltanschauung-nya, dan didalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan Negara baru itu diatas Weltanschauung yang sudah ada. Dari 1895 Weltanschauung itu telah disusun. Bahkan dalam revolusi 1905, Weltanschauung itu “dicobakan”, di-generale-repelitie-kan.
Lenin di dalam revolusi 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri generale-repetitie dari revolusi 1917. Sudah lama sebelum tahu 1917, Weltanschauung itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiat-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagaimana dikatakan oleh John Reed…. Hanya dalam 10 hari itulah didirikan Negara baru, direbut kekuasaan, ditaruh kekuasaan itu diatas Weltanschauung yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian? Didalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan Negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung. Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya Weltanschauung itu? Bukan di dalam tahu 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini dapat menjelma dengan dia punya Munchener Putsch, tetapi gagal. Di dalam tahun 1933 barulah datang saatnya beliau dapat merebut kekuasaan dan Negara diletakan oleh beliau di atas dasar Weltanschauung yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan Negara Tiongkok merdeka, tetapi Weltanschauung-nya telah ada dalam tahun 1885, dipikirkan, dirancang. Di dalam buku The Three People’s Principles, San Min Chu I- Mintsu, Minchuan, Min Sheng: Nasionalisme, demokrasi, sosialisme- telah digambarkan oleh Dr. Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan Negara baru di atas Weltanschauung San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.”
Kutipan singkat dari pidato Bung Karno yang panjang itu, ingin menegaskan kepada seluruh elemen bangsa Indonesia, sampai anak cucunya hari ini. Yakni, Pancasila itu sudah lahir tertanam menjadi akar karakter budaya bangsa sejak zaman kerajaan Majapahit, bahkan jauh sebelum itu. Sehingga permenungan reflektif Bung Karno mampu melahirkan konsep; Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan social, dan yang kelima adalah Ketuhanan.
Selanjutnya, mari kita simak sejenak kutipan pidato Bung Karno yang menyinggung keislaman dan kebangsaan. “Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memlihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam- maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna- tetapi kalau Saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.
Badan Perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, mari kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hokum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hokum Islam pula.
Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60 persen, 70 persen, 80 persen, 90 persen utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan hanya Islam yang di atas bibir saja. Kita berkata 90 persen daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah dalam siding ini berapa persen yang memberikan suaranya pada Islam? Maaf beribu maaf, saya Tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya meminta kepada Saudara-saudara sekalian- baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam- setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan”.
Dalam konteks meneguhkan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa, kita hendak menegaskan bahwa Islam dengan doktrin dan ajarannya ternyata mampu menggerakan umatnya untuk berjuang demi bangsa dan negara. Terlepas dari perdebatan asas Islam atau Pancasila, yang jelas perjuangan para tokoh garda depan Islam bermuara pada kemerdekaan dalam bingkai persatuan, keadilan dan kesejahteraan. Perdebatan ini wajar karena justru yang mencerminkan bahwa para founding father ini berjuang dengan dilandasi spirit transendental. Kata Karen Amstrong dalam “A History of God”, manusia tidak mungkin melepaskan sepenuhnya dari Tuhan. Sebab ia bukan saja homo sapiens tapi juga homo religion, dan agama dapat memenuhi kebutuhan itu.
Seruan “hubbul wathon minal iman” (cinta tanah air sebagian dari iman) membangkitkan para pejuang muslim baik melalui medan tempur atau diplomasi yang mengerahkan strategi dan taktik masing-masing. ‘Isy karimun au mut syahiidan (hidup mulia atau mati syahid), hendak mengajarkan bahwa perjuangan memiliki nilai-nilai keutamaan baik secara transendental maupun social-kemanusiaan. Pengorbanan dan perjuangan yang tulus para “Bapak Bangsa” yang tertuang dalam cita-cita Proklamasi kemerdekaan, mewariskan nilai-nilai Islam seperti jihad, yaitu berjuang dengan sungguh-sungguh demi mencapai kebahagiaan (as asa’aadah), keadilan (al adalah), kesejahteraan (ar rifahiyah).
Namun sungguh ironi ketika umat Islam menghianati perjuangan para imam-nya yang telah berdarah menggali kearifan Pancasila, yang ditelorkan pada tanggal 1 Juni 1945. Deret kemerdekaan yang kita lewati semakin panjang, namun umat Islam sendiri semakin jauh dari spirit nasionalisme. Libido kekuasaan untuk terjun dalam politik praktis yang pragmatis dan oportunis, semakin memerosokkan Islam ke dalam lembah kehancuran. Beberapa ormas Islam yang dulu pernah menggerakan roda perlawanan terhadap para penjajah, menanamkan benih-benih nasionalisme, kini larut dalam godaan politik. NU, Muhammadiyah, dan ormas Islam lain yang dibesarkan dalam sejarah penjajahan, hendaknya segera kembali (back to khitah) untuk membangkitkan kembali Indonesia di tengah keterpurukan.
Politik Islam di tanah air justru sering dijadikan komoditas oleh para penguasa yang hanya berorientasi pada kursi kekuasaan semata. Disinilah letak kegagalan politik Islam, karena telah lepas dari tujuan kemaslahatan umat. Sebagaimana tertuang dalam kaidah “tasharaful imam ‘ala raiyah manuutun bil maslahah”, bahwa kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berorientasi pada kemaslahatan. Tesis Oliver Roy dalam “The Failure of Political Islam” yang menyatakan kegagalan Islam politik bukan terletak pada wilayah konseptual. Namun karena praktek yang dijalankan kontras dengan prinsip-prinsip mulia yang terdapat dalam teks inti (Qur’an dan Sunnah). Kini saatnya umat Islam Indonesia membangun bangsanya dengan berperan sebagai moral force yang peka terhadap persoalan kerakyatan dan kebangsaan. Politik bukan semata-mata perebutan kue kekuasaan, tetapi menjadi pelayan rakyat, aktif membalas korupsi dan mengentaskan kemiskinan adalah jalan politik. Umat Islam tidak boleh menjadi penumpang dungu dalam perjuangan sejarah bangsa yang merdeka.

Tajuddin an-Nadwi (arsip pribadi), Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar