Sabtu, 26 Juni 2010

Masalah Bid'ah

Seputar masalah Bid’ah.
Arti bid’ah dalam Bahasa Arab.
Dalam bahasa Arab, kata bid’ah berarti: “sesuatu yang diadakan tanpa contoh yang terdahulu”. Disebutkan dalam kamus-kamus bahasa Arab:
a.Dalam al-Muhit, karangan Syirazi juz, III hal, 3 disebutkan:
“Al amru alladzii yakuunu awwalan”. Artinya: Sesuatu barang yang pertama adanya.
b.Dalam Muktarus Shihah, karangan Ar-Razi, hal, 379 disebutkan:
“Ikhtaro’ahu laa ‘ala mitsaalin”. Artinya: Mengadakan sesuatu tidak menurut contoh.
c.Dalam al-Mu’tamad hal, 28 disebutkan:
“Ikhtaro’ahu wa ansya ahu laa ‘ala mitsaalin”. Artinya: Diciptakan tanpa contoh.
d.dalam al-Munjid hal, 27 disebutkan:
“Maa uchditsa ‘ala ghairi mitsaalin saabiqin”. Artinya: Menciptakan dan membuat sesuatu tanpa contoh yang terdahulu.
Demikianlah arti bid’ah menurut bahasa Arab. Seluruh kamus menyatakan bahwa yang dinamakan bid’ah itu dalam bahasa Arab ialah sesuatu barang baru yang diciptakan dengan tidak ada contoh terlebih dahulu.
Si pencipta itu dinamakan Mubdi’ atau Mubtadi’. Langit dan bumi juga dikatakan bid’ah karena keduanya dijadikan Tuhan tanpa contoh. Tuhan dinamai “Badi’i” yaitu “Pencipta”. Didalam al-Qur’an terdapat ayat yang mengatakan bahwa Tuhan itu Badi’i, yang artinya pencipta langit dan bumi. Firman Nya:
“Tuhan yang menciptakan langit dan bumi (tanpa contoh)”. (QS. Al-Baqarah: 117)
Dan didalam al-Qur’an ada juga ayat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw, bukanlah Nabi bid’ah, ya’ni Nabi yang tidak ada contohnya terlebih dahulu. Firman Alloh Swt:
“Katakanlah olehmu (hai Muhammad): Saya bukanlah Rasul yang belum ada contohnya terlebih dahulu”. (QS. Al-Ahqaf: 9)
Memang, Nabi Muhammad Saw bukanlah satu-satunya Nabi dan Rasul, tetapi sebelum beliau sudah banyak Nabi-nabi, banyak Rasul-rasul, seperti Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim dll. Dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa arti bid’ah ialah sesuatu ciptaan dan yang mengadakannya dinamai “pencipta”.

Bid’ah menurut syara’.
Perlu diketahui bahwa definisi bid’ah menurut syara’ tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits. Hal ini wajar karena kitab Suci al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi tidak bertugas untuk membuat definisi atau ta’rif. Tugas al-Qur’an dan Hadits hanyalah membawa dakwah Islamiyah untuk bertauhid kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan Nabi pun bukan diutus untuk membuat definisi, tetapi hanya menjelaskan isi al-Qur’an dan untuk menyampaikan syari’at Islam.
Yang membuat definisi atau ta’rif hanyalah para ulama yang ahli setelah memperhatikan persoalan-persoalan yang akan diberi definisi itu dalam Qur’an atau Hadits, atsar-atsar sahabat Nabi dll. Oleh karena itu tidaklah heran kalau terdapat perbedaan-perbedaan definisi dalam suatu masalah karena pendapat orang berbeda-beda. Definisi bid’ah yang dirumuskan oleh beberapa ulama ahli fiqih yaitu:
Pertama, Syaikh Izzudin bin Abdus Salam, seorang ulama besar madzhab Syafi’i (w. 660 H) menerangkan definisi bid’ah dalam kitabnya “Qawa’idul Ahkam” yang artinya:
“Bid’ah itu adalah suatu pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah Saw”.
Maksudnya bahwa semua pekrjaan keagamaan yang belum ada atau tidak dikenal pada zaman Rasulullah, adalah “bid’ah” sekalipun pekerjaan itu pekerjaan yang baik. Misalkan mengumpulkan ayat-ayat Qur’an dalam satu mushaf (kitab), membukukan hadits-hadits Nabi, membukukan fiqih dan tafsir Qur’an, membukukan ilmu-ilmu ushuludin dan tasawuf, membangun madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah umum, merayakan mauled Nabi, memperingati Mi’raj Nabi, naik haji ke Mekah dengan kendaraan mobil, pesawat terbang semua pekerjaan ini dinamakan “bid’ah” karena hal itu semua belum ada dan belum dikenal pada zaman Nabi.
Kedua, menurut riwayat Abu Nu’im, Imam Syafi’i pernah berkata, yang artinya:
“Bid’ah itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji ialah yang sesuai dengan Sunnah Nabi dan bid’ah tercela ialah yang tidak sesuai atau menentang sunnah Nabi. (Fathul Bari’, juz XVII hal, 10).
Sesuai dengan Abu Nu’im, Imam Baihaqi ahli hadits yang terkenal menerangkan dalam kitab ”Manaqib Syafi’i” bahwa Imam Syafi’i pernah berkata yang artinya:
“Pekerjaan yang baru itu ada dua macam: 1. pekerjaan keagamaan yang menentang atau berlainan dengan Qur’an dan sunnah Nabi, Atsar dan Ijma’, ini dinamakan “bid’ah dhalalah”. 2. Pekerjaan keagamaan yang baik, yang tidak menentang salah satu dari tersebut diatas, adalah bid’ah juga, tetapi tidak tercela. (Fathul Bari’ juz XVII hal, 10).
Imam Syafi’i membagi dua bid’ah itu, yaitu:
a.Bid’ah Dhalalah, yaitu bid’ah sesat, bid’ah tercela, ialah pekerjaan keagamaan yang berlainan atau menentang kitabullah, menentang sunnah Nabi, Atsar sahabat-sahabat dan Ijma’.
b.Bid’ah Hasanah, yaitu pekerjaan keagamaan yang baik, yang tidak menentang kitabullah, tidak menentang sunnah Nabi, tidak menentang perbuatan sahabat-sahabat Nabi, tidak menentang Ijma’.
Dengan demikian tidaklah mudah mengatakan atau memvonis sesuatu “ini bid’ah dan itu bid’ah”. Akan tetapi semua pekerjaan keagamaan yang baru harus di teliti terlebih dahulu. Yang menentang Qur’an, Hadits, Atsar dan Ijma’ adalah bid’ah dhalalah, bid’ah sesat. Tetapi sebaliknya semua pekerjaan yang baru yang sesuai dengan Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’ semuanya itu termasuk bid’ah hasanah, bid’ah yang baik.
Imam Syafi’i berpendapat seperti diatas setelah memperhatikan sekalian hadits Nabi, sekalian perbuatan sahabat yang berkenaan dengan bid’ah. Dibawah ini ada tiga buah hadits yang menjadi dasar bagi pendapat Imam Syafi’i itu:
1.Rasulullah Saw pernah bersabda, yang artinya:
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini (urusan agama) sesuatu yang tidak ada dalam agama, maka perbuatan itu ditolak (tidak diterima) atau bathal. (HR. Muslim, Syarah Muslim XII, hal, 16).
2.Rasulullah Saw juga pernah bersabda, yang artinya:
“Barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah hasanah (sunnah yang baik) maka diamalkan orang kemudian sunnahnya itu, diberikan kepadanya pahala sebagai pahala orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak mengurangkan sedikitpun dari pahala orang yang mengerjakan kemudian itu. Dan barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah sayi’ah (sunnah buruk), maka diamalkan orang kemudian sunnah buruknya itu, diberikan kepadanya dosa seperti dosa orang yang mengerjakan dengan tidak dikurangi sedikitpun dari dosa orang yang mengerjakan kemudian itu. (HR. Muslim, Syarah Muslim, XIV, hal, 226).
Didalam hadits ini ternyata bahwa setiap orang Muslim dibolehkan dan bahkan dianjurkan supaya mengadakan “sunnah hasanah” (sunnah baik), dan dilarang keras mengadakan “sunnah Sayi’ah” (sunnah yang buruk).
3.Dalam kitab hadits Bukhari, disebutkan:
“Dari Abdurahman bin Abdul Qarai, beliau berkata: “Saya keluar bersama sayyidina Umar ibn Khatab (khalifah Rasyidin) pada suatu malam bulan Ramadhan ke masjid Madinah.
Didapati dalam masjid itu orang-orang shalat tarawih bercerai berai. Ada yang shalat sendiri-sendiri, ada yang shalat dengan beberapa orang dibelakangnya. Maka sayyidina Umar berkata: “Saya berpendapat akan mempersatukan orang-orang ini. Kalau disatukan dengan seorang Imam sesungguhnya lebih baik. Serupa dengan shalat Rasulullah”. Maka beliau satukan orang-orang itu shalat di belakang seorang Imam, namanya Ubay bin Ka’ab.
Kemudian pada suatu malam kami datang lagi ke masjid, lalu kami melihat orang shalat berkaum-kaum di belakang seorang Imam. Sayyidina Umar berkata: “Ini adalah bid’ah yang baik”. (Shahih Bukhari I hal, 242).
Hadits ini terdapat juga dalam kitab “al-Muwatha” karya Imam Malik, Juz I hal, 136-137.
Ternyata dari riwayat ini bahawa shalat tarawih berjama’ah terus menerus dalam bulan Ramadhan adalah pekerjaan bid’ah karena tidak dikenal pada zaman Nabi. Tetapi bid’ahnya menurut sayyidina Umar, adalah bid’ah baik, (bid’ah hasanah). Berdasarkan tiga hadits tersebut diatas muncullah pendapat Imam Syafi’i bahwa bid’ah itu terbagi dua, satu bid’ah dhalalah dan satu lagi bid’ah hasanah.
Ketiga, Imam Suyuthi seorang ulama besar dalam madzhab Syafi’i, pengarang kitab “Tanwirul halik” syarah “al-Muwatha” imam Malik, Syarah Sunan Nasai dan pengarang seperdua dari tafsir Jalalain, berkata:
“Maksud yang asal dari perbuatan bid’ah ialah sesuatu yang baru diadakan tanpa contoh terlebih dahulu. Dalam istilah syari’at, bid’ah adalah lawan dari sunnah, yaitu sesuatu yang belum ada pada zaman Nabi Muhammad Saw. Kemudian hokum bid’ah terbagi pada hokum yang lima”. (Tanwirul Halik. Juz I hal, 137).
Imam Jalaludin Suyuthi ini berpendapat bahwa hokum bid’ah itu tunduk pada kepada hokum fiqih yang lima, yaitu: Wajib, Sunnah, Haram, Makruh dan Jaiz. Jadi kalau begitu maka ada:
a.Bid’ah yang wajib.
b.Bid’ah yang sunnah
c.Bid’ah yang haram
d.Bid’ah yang makruh
e.Bid’ah yang boleh (Jaiz).
Pembagian itu perlu ada karena setiap sesuatu tunduk pada hokum fiqih yang lima, dan kalau dalam mu’amalah ditambah dua lagi dengan shah dan bathal.
Pendapat membagi bid’ah kepada hokum yang lima diperkuat oleh Ibnu Hajar al Asqolani seorang ulama besar dalam madzhan Syafi’i, pengarang kitab “Fathul Bari’” syarah Bukhari. Beliau berkata:
“Dan membagi sebagian ulama tetntang bid’ah ini kepada hokum yang lima. Ini terang (ya begitu)”. (Fathul Bari Juz XVII hal, 10)

Bid’ah yang terlarang hanya bid’ah keagamaan.
Bid’ah yang terlarang dalam agama hanya lah bid’ah dalam masalah keagamaan. Adapun dalam urusan keduniaan tidak ada bid’ah yang terlarang; kita boleh mengadakan dan membuat sesuatu walaupun belum ada, belum dibuat atau dikerjakan pada zaman Nabi atau zaman sahabat, asal perbuatan itu baik dan tidak bertentangan dengan hokum agama dan tidak dilarang oleh hokum agama. Contohnya membuat rumah dengan batu beton, membuat mobil dan mengendarainya, membuat dan memakai listrik, memakai sarung dan peci, semuanya itu walaupun belum dikenal pada zaman Nabi, tetapi kita di perbolehkan membuatnya karena hal ini adalah termasuk soal keduniaan dan disesuaikan dengan maslahat yang kita butuhkan.
Tetapi dalam masalah keagamaan, misalnya shalat lima waktu dijadikan enam, puasa dibuat dua bulan dalam setahun, naik haji ke bagdad misalnaya, maka semua itu bid’ah karena dilarang keras oleh syari’at Islam.
Banyak kita jumpai hadits-hadits seperti dibawah ini:
Pertama, Rasulullah Saw, bersabda:
“Barangsiapa yang membuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini, maka sesuatu itu ditolak. (HR. Muslim, Syarah Muslim, Juz XII- hal, 16)
Dalam hadits ini dikatakan:
a.Barangsiapa yang mengada-adakan.
b.Barangsiapa yang mengada-adakan “dalam urusan kami”
c.Yang diada-adakan itu di tolak, tidak diterima.
Arti kata-kata “dalam urusan kami” ialah urusan keagamaan, karena Nabi Muhammad Saw diutus oleh Allah untuk menyampaikan agama. Maka arti dan pengertian hadits ini adalah: “Barangsiapa yang mengada-adakan urusan agama maka agama yang diada-adakannya ditolak”. Mafhum dari hadits ini dapat diambil bahwa kalau dalam urusan keduniaan boleh saja diada-adakan asal tidak bertentangan dengan hokum agama yang sudah ada.
Kedua, Rasulullah Saw, bersabda:
“ Dari Ummil Mukmini Siti ‘Aisyah ra, beliau berkata: Rasulullah Saw bersabda: barangsiapa yang mengerjakan amal yang tidak kami perintahkan, maka amalnya itu ditolak. (HR. Muslim, Syarah Muslim, Juz XII- hal, 16)
Ketiga, Rasulullah Saw, bersabda:
“ Kamu yang lebih tahu (dari saya) tentang urusan dunia mu”. (HR, Muslim, Syarah Muslim, Juz XV- hal, 118)
Memang dalam urusan keduniaan, misalnya soal rumah yang baik, irigasi yang baik, soal sawah yang baik, waktu panen dan lain sebagainya, semuanya terserah dan diserahkan oleh Nabi kepada kita, kepada kebijaksanaan kita dan yang cocok menurut kita.
Akan tetapi dalam soal keagamaan maka kita wajib menurut perintah beliau, tidak boleh membuat atau mengada-adakan sesuatu yang tidak diperbuat dan disuruh oleh beliau secara langsung atau tidak langsung.
Barangsiapa yang mengada-adakan agama, maka ia adalah “ahli bid’ah” dan “agama” yang “diada-adakannya” adalah bid’ah. Dari hadits diatas ternyata bahwa bid’ah yang terlarang adalah dalam urusan agama, karena agama adalah kepunyaan Tuhan, tidak seorang pun yang berhak mengada-adakannya.
Adapun soal keduniaan, memang sebagian besar yang kita kerjakan sekarang ini belum ada pada zaman Rasulullah Saw dan bahkan belum dikenal. Walaupun begitu kita tidak terlarang mengerjakannya asal yang baik kita dan tidak ada larangan dari Alloh dan Rasul-Nya. Hal ini perlu ditegaskan supaya kita jangan menghalangi kemajuan dunia kita, kemajuan masyarakat kita dalam segala bidang. Hendaknya setiap Muslim berkreasi, berinovasi dan melahirkan pendapat-pendapat baru dalam soal keduniaan.
Allah Swt berfirman:
“Tuhan yang menjadikan untukmu seluruh yang ada diatas bumi ini”.
(al-Baqarah: 29)
Maka seluruh yang ada didunia ini dijadikan untuk kebahagian manusia. Oleh karena itu semuanya halal, kecuali kalau ada larangan dari Tuhan.

Tajuddin, UIN Jogja
Lihat, Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Jilid 3, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1981

Tidak ada komentar:

Posting Komentar