Senin, 14 Juni 2010

Masalah Hadits Dha'if

Hadits Dha’if (lemah).
Hadits Dha’if adalah hadits yang lemah hokum sanad periwayatannya atau pada hukum matannya, mengenai beramal dengan hadits dha’if merupakan hal yang diperbolehkan oleh para ulama Muhadditsin. Di zaman sekarang ada orang yang membid’ahkan amal ibadah yang berdalil hadits dha’if. Pendapat semacam ini keliru kalau tidak dikatakan salah besar. Hadits dha’if bukanlah hadits yang Maudhu’ (hadits palsu), tetapi hanya hadits yang lemah sanadnya, bukan hadits yang tidak benar, bukan hadits bohong karena asalnya dari Nabi juga.
Hadits yang dikatakan dha’if atau lemah ini ialah hadits yang derajatnya kurang sedikit dari hadits shahih atau hadits hasan. Hal ini dapat di ibaratkan seperti sebuah hadits dari Nabi, kemudian turun kepada mansur, turun lagi kepada zaid, turun lagi kepada khalid, dan akhirnya turun kepada Ibnu Majah atau Abu Daud. Ibnu Majah atau Abu Daud membukukan hadits itu dalam kitabnya. Kalau tiga orang tersebut, yaitu Mansur, Zaid, dan Khalid terdiri dari orang baik-baik, dalam arti baik perangainya, shalih orangnya, hafalannya kuat, maka haditsnya itu dinamakan hadits shahih. Sebaliknya kalau ketiganya atau salah seorang dari padanya terkenal dengan akhlaknya yang kurang baik, umpamanya pernah makan di jalanan, pernah buang air kecil sambil berdiri, lemah ingatannya atau pelupa, maka haditsnya dinamakan hadits dha’if (lemah).
Pada hakikatnya hadits dha’if adalah dari Nabi juga, tetapi “sanadnya” kurang baik. Bukan haditsnya yang kurang baik. Ada lagi yang menyebabkan hadits itu menjadi dha’if, yaitu hilangnya salah seorang dari rawinya. Umpamanya seorang Thabi’in yang tidak berjumpa dengan Nabi mengatakan: berkata Rasulullah, padahal ia tidak berjumpa dengan Nabi. Hadits seperti itu dinamakan hadits Mursal, yaitu hadits yang dilompatkan ke atas tanpa melalui jalan yang wajar. Hadits seperti itu ialah dha’if juga. Dan banyak lagi yang menyebabkan dan membuat sesuatu hadits menjadi dha’if atau lemah.
Tentang pemakaian hadits dha’if untuk dijadikan dalil, terdapat perbedaan pendapat di antara Imam-imam Mujtahid, yaitu:
a. Dalam madzhab Syafi’i hadits dha’if tidak dipakai untuk dalil hokum yang menyangkut halal haram, tetapi dipakai untuk dalil bagi “fadhailul ‘amal” atau keutamaan amal. Fadhailul ‘amal maksudnya ialah amal ibadah yang sunah-sunah, yang tidak bersangkut dengan orang lain, seperti dzikir, doa, tasbih, wirid dan lain-lain. Hadits Mursal juga tidak dipakai bagi penegak hukum dalam madzhab Syafi’i karena hadits Mursal termasuk hadits dha’if. Tetapi dikecualikan mursal-nya seorang Thabi’in yang bernama Said ibnu Musayyab.
b. Dalam madzhab Hambali lebih longgar. Hadits dha’if bukan saja dipakai dalam Fadhailul ‘amal, tetapi juga bagi penegak hokum, dengan syarat dha’if nya itu tidak keterlaluan.
c. Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad memakai hadits yang dha’if karena Mursal, baik untuk Fadhilul ‘amal maupun bagi penegak hukum.
Nah, disini namapaklah bahwa Imam-imam Mujtahid memakai Hadits-hadits yang dha’if itu untuk dalil karena Hadits itu bukanlah Hadits yang dibuat-buat, tetapi hanya lemah saja sifatnya. Karena itu tidaklah tepat kalau amal-amal ibadah yang berdasarkan kepada hadits dha’if dikatakan bid’ah, apalagi kalau dikatakan bid’ah dhalalah (bid’ah sesat).

Untuk lebih jelasnya lihat:
Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama jilid III, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1981.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar