Rabu, 09 Juni 2010

relasi jender

RELASI JENDER MAHASISWA UIN SUNAN KALIJAGA


Pendahuluan
Relasi jender mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, sebagaimana relasi jender dalam masyarakat Islam pada umumnya, di dasarkan pada konsep dasar dan prinsip-prinsip yang digariskan al-Qur’an untuk menjadi landasan pelaksanaan relasi jender yang adil. Berikut ini adalah konsep dasar dan prinsip-prinsip relasi itu sekaligus pemposisan nash al-Qurán dan Hadis yang selama ini dijadikan legitimasi ketidakadilan jender.

Konsep Dasar
Konsep dasar al-Qurán tentang pria dan wanita bahwa masing-masing diciptakan untuk menjadi zauj (pasangan) bagi yang lain menunjukan keharusan kerja sama mereka dalam semua aspek kehidupan, termasuk kesehatan reproduksi. Dalam kerja sama itu mau tidak mau memang harus ada keterlibatan yang adil dari kedua belah pihak untuk mewujudkan kehidupan yang baik (hayah thayyibah) bagi semua. Karena itu melibatkan pria dalam kesehatan reproduksi bukan hanya menjadi tuntutan social di zaman sekarang, tapi sejak awal sebenarnya telah menjadi tuntutan etis yang sesuai dengan kehendak alam.
Konsep itu sejalan dengan konsep dasar Islam sebagai rahmatal lil ’alamin, risalah yang menjdi rahmat bagi seluruh alam. Dalam bahasa rahmah berarti perasaan lembut di hati yang mendorong pemiliknya untuk berbuat baik kepada pihak lain. Pengertian ini menunjukan bahwa Islam sebagai agama menginginkan dan memberikan kebaikan bagi manusia, yang diantaranya diwujudkan melalui syariat. Karena itu syariat ditetapkan untuk menjadi alat guna mewujudkan kebaikan manusia, bukan menjadi tujuan. Jadi menjadikan syariat sebagai tujuan pada dirinya sendiri sehingga mengorban kebaikan umat Islam merupakan praktek yang tidak sesuai dengan konsep dasar agama ini.
Manusia melalui perjalanan sejarah yang panjang di masa modern dapat menyadari dan menemukan hubungan yang etis antara pria dan wanita yang belum didasari dan ditemukan pada masa-masa sebelumnya. Sekarang telah berkembang kesadaran tentang keharusan melibatkan pria dalam kesehatan reproduksi dan ditemukan pelibatannya untuk mewujudkan hubungan yang etis itu. Perkembangan ini menjadi tantangan yang harus direspon secara kreatif oleh semua agama, termasuk Islam.

Prinsip-prinsip Relasi Pria-Wanita
Dalam membangun relasi pria dan wanita yang etis, al-Qurán menggariskan empat prinsip yang mendasari semua aturan dan bentuk relasi yang diselenggarakan dalam kehidupan social. Prinsip-prinsip itu adalah: persamaan, persaudaraan, kemerdekaan dan keadilan.
Mengenai yang pertama perlu ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan prinsip itu adalah persamaan pria-wanita dalam kemanusiaannya. Sebagai manusia, pria dan wanita memiliki kedudukan yang sama dihadapan Allah. Mereka sama-sama dimuliakan oleh Allah sebagai keturunan Adam (al-Isra’, 17: 70); diciptakan untuk menjadi hamba yang harus beribadah kepada-Nya (az-Zariyat, 51: 56) dan khalifah-Nya yang harus memakmurkan bumi (al-baqarah, 2: 30). Dengan kedudukan itu, jika mereka beriman dan beramal saleh akan diberi kehidupan yang baik dan balasan yang baik (an-Nahl, 16: 97); dan kelebihan yang satu dari yang lain ditentukan oleh ketakwaan (al-Hujurat, 49: 13) dan prestasinya (al-An’am, 6: 165).
Berkaitan dengan prinsip persamaan ini dalam al-Qur’an memang ada ayat yang arti lahirnya menunjukan bahwa pria memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan wanita (al-Baqarah, 2: 228); dan dalam hadis ada sabda Nabi yang secara harfiah menunjukan bahwa wanita dalam agama dan akalnya kurang dibandingkan dengan pria (HR. Imam Bukhari dan Muslim). Namun jika difahami dari konteks internal dan eksternalnya diketahui bahwa derajat lebih tinggi yang dimiliki pria itu menunjuk pada tanggung jawab social-ekonominya yang lebih besar dengan menjadi qawwam (penanggung jawab keluarga) yang menjadi imbangan dari wanita yang harus melaksanakan tugas-tugas reproduksinya dengan hamil, melahirkan dan menyusui (an-Nisa’, 4: 34); dan diketahui bahwa hadis itu menunjukan pada kasus ketika umat Islam di masa Nabi merayakan hari raya dengan melaksanakan Shalat ‘Id, sementara ada sekelompok wanita yang ngerumpi di tepi jalan dan mengganggu atau menggoda orang-orang yang lewat. Kemudian mengenai persaudaraan, al-Qur’an menyatakan bahwa manusia itu merupakan bangsa yang satu (al-Baqarah, 2: 213). Ayat ini menunjuk pada kodrat manusia sebagai mahluk social, dimana mereka saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Kebutuhan kehidupan mereka bervariasi dan bertingkat-tingkat. Karena itu untuk menghindari benturan dan penyimpangan, mereka diarahkan untuk bekerja sama dalam kebajikan dan ketakwaan dan menghindari tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (al-Maidah, 5: 2)
Berkaitan dengan ini al-Qur’an tidak menggambarkan wanita sebagai penggoda iman (fitnah) yang bisa menghalangi pencapaian ketakwaan. Al-Qur’an tidak melemparkan kesalahan kepada wanita (Hawa) sebagai penyebab terjadinya drama kosmis kejatuhan manusia ke bumi (al-Baqarah, 2: 36). Di dalamnya memang ada kisah wanita yang menggoda pria, yakni isteri pembesar Mesir yang mengajak seorang Yusuf, namun di dalamnya juga ada kisah isteri Fir’aun yang salehah dan anak Syu’aib yang pemalu.
Selanjutnya mengenai kemerdekaan, al-Qur’an menyatakan bahwa Allah memberikan amanah kepada manusia. Amanah itu sebelumnya telah ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, namun mereka menolaknya (al-Ahzab, 33: 72). Amanah itu adalah kehendak bebas yang harus dipertanggungjawabkan manusia dihadapan Allah. Dalam melaksanakan kehendak bebasnya itu manusia diberi beban sesuai dengan kemampuannya (al-Baqarah, 2: 286); dan pertanggungjawabannya akan dilakukan secara individual dengan ada ketentuan bahwa seseorang tidak memikul dosa orang lain (al-An’am, 6: 164). Dengan demikian pria dan wanita akan mempertanggungjawabkan sendiri segala apa yang dilakukannya. Permintaan pertanggungjawaban itu dibenarkan sepanjang mereka memiliki kebebasan untuk memilih dan berbuat. Dengan demikian masing-masing orang tanpa memendang jenis kelaminnya memiliki kemerdekaan , sebab jika hanya pria saja yang memiliki kebebasan bebuat maka wanita yang tidak memilikinya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas segala yang dilakukannya.
Berkaitan dengan ini al-Qur’an tidak memberikan hak prerogative kepada pria untuk mendidik, memerintah dan melarang wanita. Amar-ma’ruf dan nahi-munkar dan saling mengingatkan akan kebenaran dan kesabaran yang menjadi tugas-tugas moral-sosial yang diajarkan kitab itu, harus dilakuakn bersama-sama oleh pria dan wanita.
Terakhir mengenai keadilan, al-Qur’an menyatakan bahwa keadilan itu merupakan kebajikan yang paling dekat pada takwa dan diperintahkan untuk ditegakan bagi dan terhadap siapapun (al-Maidah, 5: 8), baik di pemerintahan (an-Nisa’, 4: 58) maupun keluarga (an-Nisa’, 4: 3). Dengan demikian kitab itu memerintahkan agar keadilan dijadiakn dasar bagi hubungan pria-wanita, baik di wilayah publik maupun domestik.

Ketidakadilan Jender
Ketidakadilan Jender terjadi dalam lima bentuk, yang dalam tradisi Islam dilegitimasi dengan ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi.
Pertama, subordinasi:
1. Perempuan lebih rendah derjatnya disbanding laki-laki. Bersumber dari QS. Al-Baqarah, 2: 222 yang sebetulnya menunjuk derajat tanggungjawab social laki-laki yang lebih berat dengan menjadi qawwam. Juga bersumber dari beberapa hadis yang diantaranya adalah hadis yang membicarakan kekurangan akal perempuan itu dan hadis lain yang menyebutkan penciptaanya dari tulang rusuk. Hadis terakhir ini shahih dan dilihat dari perspektif al-Qur’an diketahui bahwa yang dimaksudkan adalah makna simbolik, bukan makna harfiahnya.
2. Poligami. Bersumber dari QS. An-Nisa’, 4: 3 yang sebenarnya menetapkannya dengan ada darurat social.
3. Kesaksian. Bersumber dari QS. Al-Baqarah, 2: 282 yang sebenarnya menetapkan dengan ada konteks social-budaya di mana perempuan pada umumnya di zaman Nabi tidak menguasai baca-tulis dan tidak terbiasa menangani urusan-urusan public.
Kedua, stereotip:
1. Perempuan sebagai penggoda (fitnah). Bersumber dari hadis. Dalam kenyataan yang menjadi penggoda bukan hanya perempuan, tapi juga laki-laki yang bisa lebih “sadis”.
2. Perempuan kurang akal (dalam agama). Bersumber dari hadis mustafidl yang mengemukakan proposisi khusus dengan konteks perempuan ngerumpi di tepi jalan pada hari raya.
Ketiga, kekerasan:
1. Kekerasan fisik. Bersumber dari QS. An-Nisa’, 4: 34 yang sebenarnya memiliki semangat untuk melarang kekerasan terhadap perempuan.
2. Kekerasa psikologis. Bersumber dari hadis yang melarang perempuan keluar rumah tanpa izin suami, yang sebenarnya memilki konteks kondisi Arab yang tidak aman.
3. Kekerasan seksual. Bersumber dari hadis shahih yang sebenarnya mengemukakan proposisi khusus dengan konteks budaya pantang ghilah yang sangat kuat dalam masyarakat Arab di Zaman Nabi.
Keempat, marginalisasi:
1. Domistikasi perempuan. Bersumber dari QS. Al-Ahzab, 33: 33 yang berdasarkan asbabun nuzul makronya sebenaranya memerintahkan supaya isteri (juga suami) waqar di rumah.
2. Larangan perempuan menjadi Kepala Negara. Bersumber dari hadis shahih dengan konteks komentar Nabi terhadap Persia yang sedang mengalami krisis politik yang menyebabkan putera mahkota terbunuh dan mengangkat seorang putrid untuk dijadikan kisra.
Kelima, beban ganda. Diantaranya bersumber dari hadis-hadis yang “mengimbau” perempuan untuk menjadi pelayan bagi suaminya.

Makalah seminar: Dr. Hamim Ilyas, Dosen UIN Sunan Kalijaga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar